Rabu, 18 September 2013

mulai menjadi wanita



keindahan dalam hati yang sebenarnya telah lama ada, namun bungkaman pikiran dan pilihan benar mampu mengaburkan.
kicauan sudah kuterima dari dulu.
lantah kemudian berterima dengan akal, namun tidak lagi bersama hati.

mundur satu langkah ke depan

Sabtu, 20 Juli 2013

kamu nggak perlu sama

judul itu, cukup menggambarkan malam ini


penilaian, anggapan, keinginan yang diharapakn dari seorang "cowo" (baca:racap)
maka, semua bilang yang namanya cowo harus ngerti ceewnya,
yang namanya cowo harus bisa begini buat cewe..

dan kamu "bongkar" semua tentang itu.

hahahahhahha, masih kekeh dengan gaya kamu.

Kamis, 18 Juli 2013

kamu dalam tulisan ini


Seolah sinyal rasanya sangat kuat, maka aku akan menjadi cerita dalam hatinya yang berminoritas.
hahhah, nggak bisa romantis kalo bicara tentang dia.
dia yang disebut Muda

Dia jadi orang yang akan jadi satelit dari hati ini. dan selalu jadi satelit.
bicara satelit bicara bumi yang punya satelit.Bulan
nggak cocok kalo dia dianalogi seperti bulan.
maka analogi dia yang tepat adalah dia. hanya itu

banyak teori kerendaan hati, maka dia yang akan jadi juara meluluh.

punya kepekaan kerendahan hati yang kadang yang melekatnya samapei nggak bisa lepas dari bumi.
satu pelajara lagi dari dia.
kata andalannya adalah "biasa aja". apapun
"biasa aja"
nggak pernah lebih dari kata. jika ditanya kadar komentar nggak lebih dari biasa aja.
hebat bisa bertahan dengan kadar ingin yang seperti itu.

kehebatan kata "biasa aja" teruji ketika saya ditolak sebuah sekolah. saya melamar di sana.
dan ketika keluar dari gerbang sekolah. cuma bahunya yang memberi jawaban. dia sengaja naikkan.
saya terpikir dengan katanya "biasa aja".
maka hati dan perasaan saya bersinergi untuk kata itu.

saya yang terbiasa dengan A maka A. maka saya terbiasa dengan keinginan yang sama dengan realita. tiba-tiba berubah kalah dengan kata "biasa aja".


hei, kamu.
satu lagi yang mampu pengaruhi aku

Sabtu, 13 Juli 2013

kamu,
kamu,
dan kamu yang terus

kamu adalah muda buat aku,
naik turun itu berjalan buat jadi menggenapkan yang sedang meragu
terus dan terus digenapkan

kamu
kamu
dan kamu yang terus

Jumat, 12 Juli 2013

A TERBALIK

“Kita seolah A terbalik. Kita yang sendiri adalah orang yang berdiri dengan egois yang paling depan. Tapi dengan kita menemukan seseorang, aliran egois itu menjadi ke bawah. Kerendahan hati. Diri. Kerendahan hati dan diri dengan masing-masing kekurangan yang banyak untuk dimohonkan sayang seseorang. Melengkapi kekurangan.”

perkenalkan tulisan pertama yang sengaja dibagi

Rasanya benar, tak ada masalahnya mengingat ini sekarang. Sekarang, empat tahun kami terjalin, ohh dan bahkan aku menghitung jalan lima tahun. Tapi ini mantannya dahulu.
***
Bukan bertahan untuk menepi. Tetapi rasanya tidak ada yang bisa ditahan untuk meluapkan malam ini. Geliatan kecewa mulai menyebar, rasa senang yang harusnya muncul ketika mengingat perjalanan indah, kini justru mulai menguap, benar-benar terbang bersama udara.   
Tian. Sahabatku sejak SMA. Kami satu bangku di saat kelas X, namun berpisah di dua  setangah tahun berikutnya, karena aku masuk kelas IPA dan ia masuk IPS dan setelah lulus aku kuliah dan Tian bekerja. Bukan itu yang mengahalangi persahabatan kami. Kami berempat lebih tepatnya. Tian, Aku, Niva, dan Uci. Dan malam ini, lengkap kami bertiga menemani rasa kecewanya Tian.
“Ya udah, ayo ngomong” nafas Tian seperti tersekat. Hawa dingin yang menjalar bersama rasa panas yang sangat panas juga datang bersamaan di kepala kami. Ketika itu kami ada berdelapan di sebuah kafe. Kami hanya berkumpul, tapi hanya mau berkumpul tanpa suara.
“Udahlah Yan percuma. Ini semua buat apa? Buat minta ampun? Kata Adhe.
Garda terdepan Tian menghadapi sikap Muda. Mulai dari Adhe, ya aku ingat Adhe. Adhe tak pernah bermuka manis saat membicarakan tentang ini. Dia teman rumah Tian yang juga mengenal Muda. Muda, pemuda ini yang membuat kami berkumpul berdelapan di kafe. Membicarakan yang tak pantas untuk persahabatan, tak pantas bagi anggapan beberapa orang di antara kami. Sedangkan Aku terpatung dipinggir meja, menatap cangkir coklat panas, dengan pantulan bayanganku. Niva tak menujukkan sikap yang mendukung apapun yang sedang dibahas, padahal aku tahu Niva tak setuju sama sekali.
Muda bersikap biasa tak ada apa-apa, tapi hati Tian menjerit. Yang lain memilih suara tidak saat ini. Kesepakatan berkumpul berdelapan, karena cara pandang kami berdelapan yang berbeda-beda, tapi sayangnya hanya di luar forum ini kami berani berpendapat. Iyas, Uci, Junay, Aku, dan Muda yang berpendapat tidak ada masalah, ini hanya masalah waktu untuk memahami lebih dalam, bahkan tak seharusnya menganga berkelanjutan. Sedangkan sisanya berpendapat tak mungkin menjadikan Tian sebagai korban rasa. Tapi tak ada yang mau mengungkapkan marah. Marah sejadi-jadinya.
“Ini….. ini rasa yang beda” Muda mencelos, matanya tertuju tajam pada Tian. Ingin menyentuh jari Tian yang mengepal. Tian menatapnya marah dan aku menangkap lirikan Muda ke arahku, aku mulai bingung.
Selayaknya tidak pantas ada pertemuan ini. Benar kata Adhe apa yang kami lakukan ini hanya sekedar memohon ampun. Ampunan Tian?
“Empat bulan ini kamu ngerasa apa, Muda?” Tanya Tian halus, tapi marahnya tersekat. Rasa sayang pada Muda tak semudah itu  hancur. Hubungan ini harusnya terjalin sejak mereka SMP, dua dari mereka memendam rasa sejak pertemuan pertama. Tapi tak sempat berhubungan lewat apapun, mereka tak mengikat apapun hingga mereka menanyakan kabar pada Iyas di waktu yang sama. Empat bulan yang lalu mereka bertemu. Bunga dan pelangi akan berpindah-pindah karena gelisah tentang mereka akan menjalin kisah, Tian benar menemukan pangeran barunya, selalu bercerita tentang Muda kepadaku, detil, sampai mengena sendiri di hati. Bercerita tentang komunikasinya mereka yang tidak putus-putus lewat SMS, Telepon yang berjam-jam setiap pagi memberi semangat, dongeng suara sebelum tidur, permintaan untuk memimpikan satu sama lain, sangat tidak konyol untuk mereka. Benar-benar di negeri dongeng.  
“Lu yang lebih tahu, Yan” Jawab Muda sederhana, tapi tidak untukku. Jawaban itu membuat banyak tanya.
“Harusnya kamu yang Tanya sama aku, aku mau nggak diginiin?”
Sekarang Tian mulai marah, aku benar menatap matanya dari sudut meja. Harusnya benar seperti ini sedari tadi. Aku mendukungnya marah, kali ini aku mendukungnya. Dukung sikapnya bukan hatinya.  
“Kamu mau aku kaya apa? Punya sikap yang manis, baik sama kamu sekarang?”
 “Empat bulan ini aku baru bangun sayang aku ke kamu?” …
“Kamu tahu itu Bi? Aku nggak minta dijahatin Bi?”
Masih. Masih dengan panggilan sayang “Abi” untuk Muda. Empat bulan yang tak mungkin hancur.
Makanan pesanan kami datang. Kami nikmati dan diam hingga selesai.

***
Berhari-hari sejak pertemuan itu, tak ada yang kami bahas, atau sanggup membahas di luar forum. Dan malam ini aku mendatangi rumah Tian. Benar-benar dalam keadaan yang berani. Bersama satu kotak sepatu yang terlapisi kertas kado bermotif bunga-bunga dan peri cinta. Kotak tertutup rapat dan penuh.
“Kenapa lu malah bawa ini ke sini? Kata Tian membuka kotak sepatu, dan memilih satu benda dari tumpukan, surat-surat, foto, tiket-tiket nonton, celengan berbentuk hati. Sudah kupastika Tian akan mengambil kotak cicin.
Tian memutar-mutar cincin perak berinisial M.
“Gue tahu semua background semua benda-benda ini” kataku yakin.
“Lu jadi nggak yakin Wa?” timpal Tian.
Aku tergagap, pertanyaan yang tidak seharusnya. Putar otak cepat, dan aku menangkap cerita cincin.

“Masih inget Yan, pas dapet cincin ini, beli di pasar malem deket rumah gue, sebelum ke rumah gue, negeri dongeng Tian   en Muda” kataku canggung.